Oleh: Ahmad Wahyu Rizkiawan
Menjadi guru bukan profesi yang mengantar kita pada status sosial ekonomi kaya raya. Kalau ada yang kaya raya dari profesi guru, itu sekadar bonus dan takdir belaka.
Sebab, guru memiliki peran pada Guide (panduan) and Rules (aturan). GUide and RUles, bukan Gold (emas) and Riches (kekayaan). Bukan pada orientasi mendapatkan emas dan kekayaan, tapi lebih pada peran pemandu kehidupan.
Setiap Hari Guru tiba, entah kenapa, saya selalu ingat dan merenungi pesan Kyai saya: nek ndue niat dadi kyai (guru), ojo arep-arep sugih. Kyai saya dapat pesan itu dari kyainya kyai saya.
Sejak mendengar kalimat itu, sesungguhnya saya tak pernah punya niat menjadi guru. Tapi sayang, saya punya bakat jadi guru sejak lahir. Sebab orang tua saya menitipkan DNA pendidik di dalam tubuh saya.
Seberapa kuat saya menghindari takdir jadi guru, tetap saja ada celah episode hidup yang akan mengantar saya pada kegiatan belajar mengajar --- sesuatu yang kelak amat sangat saya syukuri.
Suatu hari, saat saya masih duduk di Sekolah Menengah, Ibu pernah berpesan, "Sok mben awakmu tetep bakale dadi guru, Ibuk suueneng nek awakmu dadi guru". Kata Ibu.
Saya mendengar kata itu sambil lalu. Sebab waktu itu saya belum kepikiran mau jadi apa, apalagi sekadar jadi guru. Bahkan, tak pernah ada niat dalam hati saya untuk sekolah di jurusan keguruan.
Saya kira waktu itu Ibu sedang bergurau. Tapi ternyata itu doa yang amat mustajab. Buktinya, entah apapun yang saya lakukan, tubuh saya seperti selalu digerakkan pada giat-giat advokasi edukasi.
"Kerjo opo wae, nak iso atine tetep nyambi dadi guru." Itu pesan ibu yang selalu saya ingat hingga saat ini.
Kalau bukan karena pesan Ibu, mungkin saya tak akan pernah mau jadi guru. Semua ini karena Ibu dan bapak sangat mencintai pendidikan. Episode hidup mereka dihabiskan di dunia pendidikan. Tiap kali kami pindah rumah, di tempat itu pula, selalu ada orang belajar.
Ada yang belajar ngaji, belajar baca-tulis, belajar main hadrah, atau belajar bikin kue. Rumah kami selalu ramai anak-anak dan tetangga-tetangga yang belajar. Meski rumah kami bukan sebuah sekolahan.
Ibu dan bapak tak berprofesi menjadi guru secara formal. Beliau hanya mencintai pendidikan, tapi tak berprofesi sebagai guru. Kelak saya tahu jika ibu dan bapak memaknai guru dan pendidik sebagai status ukhrowi.
Hingga beberapa waktu sebelum wafat, Ibu masih sering bertanya pada saya, adakah anak tetangga yang saat sudah waktunya disekolahkan, tapi belum atau tidak disekolahkan? Jika ada, saya diminta untuk memanggilkan mereka ke rumah.
Ibu dan bapak memang sangat mencintai pendidikan, meski mereka hanya seorang pedagang. Mereka pedagang yang berjuang di dunia pendidikan. Dan mereka amat bangga akan apa yang mereka perjuangkan.
Ibu pernah berpesan: jadi guru tidak akan membuatmu kaya raya, tapi dengan jadi guru yang ikhlas, potensi Allah membuka jalan kamu untuk hidup tercukupi dan kaya, bisa terbuka. Ibu tak pernah meminta saya jadi kaya raya dari profesi guru. Beliau hanya meminta saya jadi guru yang ikhlas, urusan ketercukupan rizki, cari jalan yang lain. Begitu pesan beliau.
Dan sejak saat itu, hati saya mulai luluh. Sebab saya menyadari; orang tua, kakek, hingga buyut-buyut saya, semuanya menempatkan perjuangan hidup mereka sebagai guru dan pendidik, namun di saat yang sama, mereka berdagang.
Ada yang jadi guru ngaji, guru pencak silat, hingga guru kehidupan di masyarakat. Dan tak ada satu pun dari mereka yang berprofesi guru formal, apalagi guru yang bersertifikat. Maka tak heran jika saya tumbuh dari cipratan DNA mereka.
Dari beliau-beliau pula, saya mengambil kesimpulan bahwa: setiap manusia adalah guru dan pendidik. Kalaupun tak berprofesi sebagai guru, mereka mendidik dari apa yang dilihat orang lain terhadap diri mereka. Ya, saya tahu, guru dan giat pendidikan bukan sekadar profesi, tapi peran hidup dan status ukhrowi.